3 April 2020
Saat ini, dunia menghadapi ketidakpastian masa depan akibat persebaran virus corona (Covid-19) yang telah mengancam keamanan transnasional dan meruntuhkan sistem keuangan global. Setelah sejumlah negara mengambil kebijakan lockdown dan penerbitan larangan perjalanan lintas negara, fondasi ekonomi dunia juga mulai terdampak cukup serius hingga berpotensi memunculkan resesi global.
Akibatnya, negara-negara dipaksa oleh keadaan untuk mampu memenuhi kebutuhan internalnya dan mengurangi level ketergantungan terhadap pasokan logistik dari negara lain (self-sufficiency).
Realitas ekonomi-politik global seperti ini akan mendorong terbentuknya karakter politik internasional yang lebih bersifat state-centric, nasionalistik, dan proteksionis, yang cenderung melemahkan dalil dan postulat tradisi globalis dan multilateralis.
Kecenderungan ini bukanlah hal baru, mengingat politik internasional yang bercorak realis ini sudah mulai menguat sejak satu dekade terakhir sejak “watak politik populis” mulai bermunculan di sejumlah negara besar. Namun, tragedi pandemi korona ini akan mendorong lebih kuat terbentuknya karakter realis dalam politik internasional mutakhir.
Pertaruhan Efektivitas Pemerintahan
Penanganan virus corona membutuhkan kepemimpinan yang efektif, tegas, dan cermat, dalam mengendalikan dan memobilisasi semua kerja serta upaya lintas sektoral secara harmoni. Dengan manajemen kepemimpinan yang efektif, langkah-langkah yang ditempuh bisa semakin efektif untuk membatasi ruang gerak dan persebaran virus, meminimalisasi tingkat kematian (mortality rate ) dan meningkatkan potensi sembuh dan percepatan recovery bagi pasien yang telah terdiagnosis positif terinfeksi.
Dengan kata lain, efektivitas penanganan virus korona di sejumlah negara akan menjadi pertaruhan besar bagi kredibilitas dan legitimasi pemerintahan yang ada di masing-masing negara. Pada saat yang sama, pandemi virus yang memiliki tingkat persebaran secara cepat ini juga mampu menelanjangi kapasitas pemerintahan dan fondasi ekonomi negara yang sesungguhnya.
Jika ada suatu negara yang selama ini mengklaim diri sebagai negara besar dan kuat (big and strong state ), tapi tidak mampu menahan laju penyebaran dan angka kematian yang ditimbulkan oleh virus corona, sejatinya negara-negara itu sedang menelanjangi diri untuk menunjukkan kualitas pertahanan internal masing-masing.
Karena itu, pemerintah China dan Partai Komunis Tiongkok dalam nota diplomatiknya yang dikirim ke sejumlah negara-negara mitra menyatakan bahwa kemampuan menanggulangi krisis di Provinsi Hubei dan Kota Wuhan secara cepat berkat kepemimpinan efektif Presiden Xi Jinping yang dijalankan dalam sistem komunis yang diklaim lebih memudahkan proses koordinasi dan mobilisasi logistik di tingkat strategis ataupun praktis.
Tersirat, kerja keras Beijing telah menghasilkan ledakan kepercayaan diri yang cukup besar di internal masyarakat dan para pendukungnya. Bahkan Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyatakan, keberhasilan yang dicapai pemerintahan Xi Jinping bukan hanya menyelamatkan rakyat China, tetapi juga masyarakat dunia.
Jadi, Beijing menyatakan siap bekerja sama dengan semua pihak untuk menanggulangi pandemi yang sangat meresahkan keamanan global ini. Artinya, pada level ini China mulai mendapatkan hasil panen dukungan, simpati, dan pengakuan global, terhadap efektivitas pemerintahannya.
Situasi ini menempatkan Amerika Serikat yang selama ini menjadi kawan sekaligus seteru lama China, menghadapi tantangan legitimasi yang sangat besar di mata internasional. Agar tidak kehilangan muka, sedari awal Presiden Donald Trump mengklaim bahwa perkembangan virus corona di Amerika masih bisa dikendalikan dengan baik.
Bahkan Trump mengajak warganya untuk berbondong-bondong membeli saham korporasi global yang saat ini tengah jatuh untuk mendapatkan keuntungan besar tahun depan. Namun, saat data persebaran corona di Amerika mulai menguat, pemerintahan Trump mulai gagap menghadapinya.
Saat ini, setidaknya sudah ada 68.572 orang yang dinyatakan positif virus corona di Amerika dan sekitar 1.031 orang dinyatakan meninggal akibat keganasan virus ini. Jika tidak tertangani dengan baik, posisi Amerika bisa menyusul daftar panjang negara-negara besar yang gagap dan kelimpungan menghadapi korona.
Sejauh ini, posisi teratas jumlah kasus infeksi virus corona masih ditempati China dengan 81.869 kasus, dengan jumlah korban meninggal mencapai 3.287 orang. Sementara Italia berada di peringkat kedua dengan 69.176 kasus terinfeksi dan jumlah korban meninggal mencapai 6.820 orang.
Memang tidak mudah membatasi ruang gerak 327 juta warga Amerika yang terbiasa dengan kebebasan. Namun, selama ini Amerika dikenal sebagai “tanah yang diberkati” dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang paling mapan di dunia.
Semua ini adalah pertaruhan besar bagi kredibilitas pemerintahan dan kapasitas negara dalam menghadapi situasi krisis kesehatan global ini. Di Amerika, penanganan terhadap korona akan menjadi pertaruhan besar dalam politik nasional dan Pilpres di tingkat federal pada November 2020 mendatang.
Semua bergantung efektivitas kepemimpinan Trump dan kualitas koordinasi antara pemerintahan federal dan negara bagian di Amerika. Corona adalah ujian nyata bagi efektivitas kepemimpinan politik dalam suatu negara. Jika Trump tidak mampu memenangkan hati dan pikiran rakyatnya, babak baru sejarah dan arah pengaruh Amerika terhadap dunia akan mengalami perubahan signifikan.
Potensi Negara Gagal
Negara-negara besar dengan kapasitas yang memadai dalam teknologi, tenaga medis, dan fasilitas kesehatan publiknya akan lebih mudah memenangkan perang melawan corona. Namun, bagi negara-negara miskin dan berkembang, corona berpotensi menghadirkan kompleksitas masalah kesehatan yang bisa merembet pada hancurnya pertahanan, keamanan, ekonomi, dan politiknya, sehingga memunculkan hadirnya peluang negara-negara gagal (failed states).
Negara-negara yang selama ini mengalami instabilitas keamanan, seperti Irak, Lebanon, Palestina, Yaman, Syiria, hingga perbatasan Turki, akan mengalami kesulitan mendapatkan akses kesehatan yang layak di tengah konflik yang tidak berkesudahan. Demikian pula dengan warga di Afganistan, meskipun perjanjian damai dan gencatan senjata telah ditandatangani antara pemerintah Amerika dan Taliban, tetapi sejumlah pertempuran kecil masih sering terjadi di sana-sini.
Hal itu mengindikasikan betapa rapuhnya fondasi perdamaian yang ada. Di tengah ketidakpastian situasi ini, akses kesehatan publik akan semakin susah dan tidak mudah mengendalikan persebaran virus ketika konflik dan perang tidak dihentikan.
Alhasil, di tengah situasi chaos seperti ini, negara-negara miskin dan berkembang lagi-lagi akan kembali menjadi “medan pertempuran” dan perebutan pengaruh ekonomi-politik bagi negara-negara besar. Secara general, sistem politik internasional yang bercorak multipolar akan bertahan, mengingat adanya wilayah-wilayah seperti Eropa dan Federasi Rusia yang memiliki kekuatan ekonomi-politik yang relatif otonom.
Namun, di belahan dunia lainnya seperti Asia Tenggara, Pasifik Selatan, Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, hingga Timur Tengah, kekuatan Amerika Serikat dan China tetap akan menjadi dua kiblat yang menjadi kutub kekuatan ekonomi-politik dunia selanjutnya.
‘Ketegangan baru dari persaingan lama’ ini terus disemai. Amerika yang belum terbukti mampu menjinakkan korona secara efektif, tetap menggunakan narasi “virus dari China” untuk memulai “permainan saling menyalahkan” untuk memojokkan China dalam politik internasional (global blame game).
Pada saat yang sama, masyarakat di akar rumput kini juga mulai banyak mengonsumsi materi-materi bernada konspiratif yang seolah logis terkait spekulasi korona sebagai senjata biologis, yang mudah ditebak arah logikanya untuk melemahkan salah satu pihak di antara keduanya.
Narasi semacam ini tampak efektif membangkitkan sentimen anti-China (Anti-Chinese sentiment ) yang telah berurat akar di sejumlah negara-negara berkembang yang selama ini menjadi wilayah perebutan pengaruh antara paham liberalisme dan komunisme saat Perang Dunia II hingga Perang Dingin berlangsung. Hal itu dikonfirmasi oleh banyaknya penolakan hingga vandalisme terhadap warga China di sejumlah negara, seperti di Jepang, Korea Selatan, termasuk kejadian di Kendari, Indonesia, beberapa waktu lalu.
Mengantisipasi potensi hadirnya politik internasional yang tidak sehat ini (toxic), negara-negara berkembang termasuk Indonesia, harus mampu bergerak secara efektif untuk memastikan kekuatan besar dunia lebih peka terhadap kesehatan, keselamatan, dan keamanan dunia (global security).
Arogansi negara-negara besar harus diredam untuk memastikan langkah-langkah diplomasi, kerja sama dan upaya-upaya multilateral terhadap setiap ancaman tradisional ataupun non-tradisional seperti corona ini dapat ditanggulangi. Keselamatan dunia merupakan tanggung jawab bersama, apa pun ideologi, cara pandang, agama, dan identitasnya. (*)
Umam adalah Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI)
Artikel opini ini pertama kali dipublikasikan di Harian Sindo, 3 April 2020