Ambivalensi Arus Balik Ibu Kota

Ilustrasi oleh KOMPAS.

Muhamad Rosyid Jazuli

KOMPAS Digital, Opini, 4 Juni 2021

 

Terlepas dari berbagai peringatan dan penyekatan, jutaan orang tetap mudik Lebaran tahun ini. Kini, arus balik, secara khusus ke Ibu Kota, tengah berlangsung. Hal ini perlu diperhatikan dan disikapi dengan kebijakan yang tepat.

Pembuatan kebijakan publik selalu kompleks sebab targetnya adalah sikap masyarakat yang sarat ambivalensi (attitudinal ambivalence). Ini terkait dengan internalisasi nilai dan obyek positif dan negatif secara bersamaan dan telah berlangsung lama (Craig & Martinez, 2005).

Dampaknya, munculnya ketidaksinambungan antara pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku (behavior) yang mengakar dan lintas generasi. Tradisi arus balik ke Jakarta menjadi contoh yang cukup nyata dari ambivalensi ini.

Jamak diketahui, lewat arus balik, para pendatang baru tiba di Ibu Kota, mengadu nasib dengan harapan akan masa depan lebih baik. Padahal, di waktu yang sama, mereka tahu betul, kans untuk bisa hidup layak di Jakarta sangat tidak pasti. Situasi ini berulang tiap tahun dan hampir belum ada kebijakan publik yang optimal mengelolanya.

Ambivalensi ini erat kaitannya dengan citra ’menjanjikan’ ekonomi Jakarta. Berbagai sumber daya, seperti manusia dan uang, dari seluruh penjuru Indonesia, terpusat di Jakarta. Produk domestik regional bruto Ibu Kota hampir 30 persen PDB nasional, atau sekitar Rp 2.600 triliun (2018).

Karena itu, sebagai sebuah entitas, daya beli Jakarta sangat tinggi, dengan upah minimum provinsi (UMP) sekitar Rp 4,4 juta per bulan (2021). Ini jelas menjadi daya tarik berbagai perantau dan pendatang baru yang berarus balik ke Jakarta.

Sayangnya, sudah jadi pengetahuan umum bahwa hanya sebagian kecil (40 persen) pekerja dapat menikmati UMP tersebut. Rata-rata upah terendahnya dimiliki para pekerja kasar, yakni sekitar Rp 2,7 juta per bulan. Upah terkecilnya adalah Rp 750.000 per bulan (BPS, 2020), yang tentu sangat berbeda dengan ingar-bingar tingginya upah di Jakarta.

Selain itu, di Jakarta terdapat sekitar 230.000 penduduk usia muda (15-24 tahun) tak bekerja, tak sekolah, dan tak sedang mengikuti pelatihan (youth not in education, employment, and training) (BPS, 2020).

Mereka ini rentan menjadi pengangguran baru dan, bukan tak mungkin, sumber masalah sosial, misalnya, ketika mereka berbuat kekerasan karena nihil pendapatan. Arus balik ke Jakarta, jika tak diisi oleh mereka yang berkapasitas dan berketerampilan, tentu hanya akan memperburuk masalah demografi tersebut.

Ketersediaan hunian

Selanjutnya, ketersediaan hunian terjangkau di Jakarta belum terkelola dengan optimal. Janji politik Gubernur Anies Baswedan terkait rumah DP nol persen atau nol rupiah sebenarnya sangat tepat. Implementasinya tentu akan meningkatkan kepemilikan (stake) dan partisipasi berbagai warga Jakarta pada proses pembangunan Ibu Kota.

Dengan terjaminnya tempat tinggal, warga Jakarta dapat fokus untuk meningkatkan keterampilan dan produktivitas kerja, atau bahkan berwirausaha. Sayangnya, program hunian tersebut belum optimal realisasinya.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta awalnya berencana membangun sekitar 232.000 unit rumah DP nol rupiah. Dari jumlah tersebut, sebagian besar akan dibangun melalui mekanisme kerja sama dengan swasta. Nyatanya, hingga Maret 2021 ini, tercatat baru 800-an unit rumah dibangun dan disediakan (Kompas.com, 18/3).

Belum optimalnya pelaksanaan kebijakan tersebut pasti punya alasan. Selain masalah birokrasi, masyarakat, baik warga asli maupun pendatang, di Jakarta belum terbiasa tinggal di hunian bertingkat. Sebagai contoh, untuk membiasakan warganya tinggal di hunian vertikal, Singapura memerlukan waktu lebih dari 10 tahun (Lee, 2000).

Selain masalah upah kerja dan hunian terjangkau yang tak pasti, iklim politik di Jakarta sangat dinamis. Karena itu, Jakarta selalu jadi magnet pujian dan kritik publik lintas generasi di Indonesia.

Namun, ’kehidupan keras’ di Jakarta tersebut seolah tak pernah mengurungkan niat orang berarus balik, berusaha meraih kesuksesan di Ibu Kota. Ambivalensi arus balik ini tentu menjadi tantangan kebijakan bagi siapa pun untuk memimpin dan merealisasikan janji politiknya di Jakarta, bukan hanya era Gubernur Anies saat ini.

Berbagai kebijakan dan program, misalnya peningkatan keterampilan tenaga kerja, pembukaan lapangan kerja, peningkatan investasi, dan penyediaan hunian terjangkau, perlu terus dioptimalkan perencanaan dan implementasinya.

Mengelola arus balik perlu terus menjadi fokus dan komitmen pemimpin Ibu Kota. Sebab, arus balik tentu tak selamanya membawa keburukan. Jika optimal kebijakan penanganannya, arus balik ini malah akan membantu Jakarta mendapatkan suplai sumber daya manusia berkualitas penggerak ekonominya.

Selain itu, kerja sama dengan berbagai pimpinan dan pemangku kepentingan dari daerah lain juga harus terus diupayakan. Tujuannya adalah peningkatan pembangunan ekonomi di daerah-daerah lain sehingga masyarakat Indonesia punya berbagai pilihan tujuan bekerja dan berusaha, tak terpusat di Jakarta. (*)

Muhamad Rosyid JazuliPeneliti di Paramadina Public Policy Institute dan Mahasiswa Doktoral di University College London

Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam Rubrik Opini KOMPAS Digital, 4 Juni 2021.